Beranda | Artikel
Tidak Memisahkan Anak dari Orangtuanya
Rabu, 26 Juli 2023

Bersama Pemateri :
Ustadz Abdullah Zaen

Tidak Memisahkan Anak dari Orangtuanya ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Fiqih Pendidikan Anak yang disampaikan oleh Ustadz Abdullah Zaen, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 6 Muharram 1445 H / 24 Juli 2023 M.

Kajian Tentang Tidak Memisahkan Anak dari Orangtuanya

Salah satu prinsip dasar dalam pendidikan anak adalah memahami hak anak terhadap orang tua. Dengan begitu, orang tua akan mengetahui kewajiban mereka terhadap anak-anak. Salah satu hak anak terhadap orang tua tidak hanya berarti komunikasi lewat telepon, melainkan juga hak untuk berdekatan secara fisik.

Anak-anak, terutama yang masih kecil, sangat membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari orang tua mereka. Ini adalah hak mereka, dan ketika hak ini tidak dipenuhi, dapat berdampak negatif pada perkembangan psikologis anak.

Perlu diingat bahwa pembahasan ini berlaku pada kondisi normal, bukan pada situasi yang jarang terjadi seperti kehilangan orang tua. Dalam kasus orang tua yang masih hidup dan dipisahkan dari anak-anaknya, anak-anak memiliki hak untuk tetap dekat dengan mereka.

Biasanya anak akan menangis saat dipisahkan, tetapi tidak berapa lama, sekitar seminggu kemudian, mungkin dia sudah kembali ceria. Meskipun demikian, kita tidak tahu apakah keceriaan anak tersebut hanya bersifat paksaan, atau dia benar-benar memendam perasaan kecewa di dalam hatinya atau tidak?

Beberapa orang tua mengeluhkan perubahan perilaku anak yang tadinya terlihat patuh dan menuruti kakek neneknya saat masih kecil, tapi setelah tumbuh besar, dia cenderung melawan dan sering protes.

Setelah menyelidiki lebih lanjut, ternyata masalah tersebut terkait dengan masa kecil anak ini. Dia telah dipisahkan dari orang tuanya sejak kecil, sehingga luka dari masa kecil tersebut ternyata dia pendam. Ketika dia masih kecil, dia belum mampu mengungkapkan atau melampiaskan luka tersebut, tetapi setelah dia tumbuh dewasa, perilaku negatif mulai muncul sebagai bentuk pelampiasan.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mewanti-wanti dalam masalah ini:

مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الوَالِدَةِ وَوَلَدِهَا فَرَّقَ اللَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَحِبَّتِهِ يَوْمَ القِيَامَةِ

“Barang siapa yang memisahkan antara ibu dengan anaknya, niscaya Allah akan memisahkan antara dia dan orang-orang yang dicintainya kelak di hari kiamat”. (HR. Tirmidziy dari Abu Ayyub Radhiyallahu ‘Anhu. Tirmidziy berkata hadits ini hasan gharib. Adapun al-Albaniy menyatakan hadits ini hasan)

Dalam hadits ini disebut “ibu” karena kebutuhan anak kepada ibu jauh lebih besar daripada kebutuhan kepada bapak. Sebab, ketika anak menyusu kepada ibu, dia tidak hanya mendapatkan asupan gizi, tapi juga merasakan kasih sayang dari ibunya.

Sebagai contoh, ketika anak keempat saya lahir dan harus dimasukkan ke dalam inkubator karena kelahirannya prematur, dia menjadi penghuni inkubator selama sekitar dua bulan atau lebih. Meskipun dia harus dipisahkan karena kondisi medis, kami berusaha memberikan waktu di dekat ibunya setiap harinya.

Penting untuk memahami bahwa setiap anak memiliki hak untuk dekat dengan orang tua mereka, terutama ibu, karena kasih sayang dan perhatian dari orang tua memainkan peran penting dalam perkembangan anak.

Bagaimana Jika Anak Dipondokkan?

Pendidikan anak sangatlah urgen, lebih-lebih pendidikan agama terutama untuk saat ini. Namun sayangnya banyak orang tua mengabaikannya. Masalah lain yang timbul, apakah setiap anak mesti dipondokkan, yaitu masuk ke pesantren dan nginap di sana sehingga jauh dari orang tua? Ataukah sebaiknya ketika anak belum baligh, ia tetap bersama orang tua, dengan menyekolahkannya di tempat terdekat dan tetap memperhatikan pendidikan agama si anak?

Jawabannya: bila anak belum baligh, sebaiknya tetap dekat dengan ibunya. Namun bila telah baligh, maka tidak mengapa dipondokkan, guna melatih kemandiriannya.

Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu ‘Anhu menuturkan,

«نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُفَرَّقَ بَيْنَ الْأُمِّ وَوَلَدِهَا»، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِلَى مَتَى؟، قَالَ: «حَتَّى يَبْلُغَ الْغُلَامُ وَتَحِيضَ الْجَارِيَةُ»

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang memisahkan antara ibu dan anaknya. Maka ada yang bertanya pada beliau, “Wahai Rasulullah, sampai kapan?”. Beliau menjawab, “Sampai mencapai baligh bila laki-laki dan haidh bila perempuan”. HR. Ad-Daraquthniy dan sanadnya dinilai sahih oleh al-Hakim.

Hadits-hadits di atas sebenarnya membicarakan tentang hadhanah yaitu masalah pengasuhan anak ketika terjadi perceraian suami-istri, siapakah yang berhak mengasuh anak tersebut.

Namun hadits itu juga mengandung pelajaran lainnya. Yakni penjelasan bahwa sebaiknya anak tidak jauh dari ibu atau orang tuanya ketika usia dini. Karena usia tersebut, anak masih membutuhkan kasih sayang orang tua, terutama ibunya. Jika anak terus dididik orang tuanya, itu lebih bermanfaat insyaAllah dibanding dengan menyerahkannya ke sekolah atau ke pihak pondok pesantren.

Sehingga kurang tepat saat anak belum dewasa, dia sudah dipondokkan dan jauh dari orang tua. Pilihan terbaik adalah anak tetap dekat orang tua dan ia disekolahkan di sekolah sekitar rumahnya dan orang tua tetap memperhatikan pendidikan agamanya. Wallahu a’lam.

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian yang penuh manfaat ini.

Download mp3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/53069-tidak-memisahkan-anak-dari-orangtuanya/